AKSARA KEAJAIBAN
Kantornya belum tutup, namun sengaja tidak dibuka. Sebenarnya tempat
itu hanyalah sebuah bangunan kecil, dinding dan pintunya terbuat dari
kayu. Dan hanya ada sedikit perabot di dalamnya. Ada duah buah meja dan
dua kursi yang saling berhadapan, tidak jauh dari pintu masuk ada sebuah
bangku panjang, tempat biasanya orang-orang menunggu. Zaza sedang
tertidur di atas meja, sejak pagi ia hanya termenung sendirian di atas
kursi. Rasa bosannya perlahan mulai membuatnya mengantuk. Dua tangannya
dilipat di atas meja untuk dijadikan alas tidur. Bagian samping wajahnya
ditempelkan di atas dua lengannya dan ia pun mulai terlelap.
Ada orang yang berdiri dan mengetuk-ngetuk pintunya dari luar, beberapa ketukan sopan dan
Zaza
mendengarnya, tapi ia tetap tidak bergeming. Ia yakin kalau itu adalah
istrinya yang datang meminta uang. Padahal baru tadi malam ia berteriak
di depan muka istrinya kalau ia tidak punya uang dan akan segera
memberinya uang kalau ia sudah punya. Zaza tetap acuh dengan tamunya
itu. Namun ketukan itu menjadi semakin kuat dan keras hingga ia sadar
kalau seorang perempuan tidak akan bisa mengetuk sekeras itu. Zaza
segera berjalan menuju pintu dan bergegas membukanya. Ketukan itu
semakin keras. Saat tangannya hendak meraih gagang pintu, pintu itu
roboh karena diketuk terlalu kuat. Zaza menghindar ke arah samping.
Dilihatnya pintu itu terbujur di lantai dan seorang laki-laki tinggi
besar berdiri di hadapannya. Tangannya keras dan berotot dan lingkar
dadanya besar. Laki-laki itu menatap ke arah Zaza.
“Apakah anda orang yang bernama Zaza?” tanya laki-laki itu kesal.
“Iya tuan, sayalah orangnya.”
“Oh, aku tidak diberitahu kalau ternyata kau ini tuli!”
“Tidak tuan, saya tidak tuli. Saya bisa mendengar sama seperti tuan.”
“Jadi kenapa kau tidak membuka pintunya tadi!”
Zaza sedikit bingung untuk menjawabnya. Ia tidak ingin bercerita
mengenai istrinya pada orang ini, karenanya dia hanya menjawab kecil dan
pelan.
“Maaf tuan, saya tidak mendengarnya tadi.”
“Apa? Kau tidak mendengar sekeras itu aku mengetuk pintunya. Berarti kau ini benar-benar tuli.”
“Iya, terserah anda saja. Mungkin memeng benar saya ini tuli.”
“Silahkan duduk tuan! Apa pun yang bisa saya bantu.”
“Tidak usah, lebih baik aku berdiri saja. Lagi pula aku tidak ingin membuat kursinya patah.”
“Aku ke sini karena disuruh untuk menjemputmu.”
“Siapa?” tanya Zaza.
“Kamu!! Apakah kau ini benar-benar tidak bisa mendengar?” laki-laki itu terlihat semakin kesal.
“Tidak tuan, anda salah paham. Maksud saya itu siapa yang menyuruh tuan untuk menjemput saya?”
“Raja, tuan raja yang menyuruhku untuk menjemputmu. Ada masalah penting
dan ia membutuhkan bantuanmu. Dan tenang saja, kamu akan dibayar untuk
itu.” Laki-laki itu berbicara dengan suara keras karena mengira Zaza
benar-benar kurang pendengaran.
“Baik tuan, dengan senang hati.” Ia lalu mengambil selembar kertas,
mencelupkan penanya ke dalam botol tinta dan menulis beberapa kalimat
sederhana yang tidak akan membuat istrinya kesulitan ketika membacanya
nanti.
“A-ku per-gi ti-dak la-ma, nan-ti a-ku pu-lang mem-ba-wa u-ang.” Zaza
berpikir sejenak, ragu-ragu ia menulis di bawahnya, “a-ku sa-yang
ka-mu.”
Zaza lalu menempel kertas itu di dinding. Sebelumnya ia cukup
kewalahan ketika mengajarkan istrinya baca tulis. Ia harus mengulang
huruf dan bunyi yang sama berkali-kali sampai membuatnya jengkel. Butuh
waktu berminggu-minggu hingga istrinya bisa mengenal setiap huruf dan
melafalkannya secara terbata-bata. Istrinya hanya mampu mengeja kata dan
kalimat sederhana, tapi tetap masih tidak bisa menulis. Dia tidak
sempat lagi mengajarkannya karena belakangan mereka terlalu sibuk
bertengkar. Dan istrinya seringkali mengejeknya si cerdas yang tuli.
“Bisakah kau lebih cepat sedikit! Jangan membuatku menunggu terlalu lama! Apa kau tidak lihat aku berdiri sejak tadi.”
“Baik tuan, kita berangkat sekarang.”
Sebuah kereta sudah menunggu mereka di depan. Kereta itu ditarik oleh
penggerak berbahan bakar rumput. Zaza duduk termenung, ia mencoba
mengingat perjalanan jauh terakhirnya, dan itu sudah lama sekali. Dulu
sewaktu remaja, ia sering membantu ayahnya di kebun. Ayahnya adalah
seorang petani yang tekun, tapi tidak demikian dengan
Zaza.
Karena rasa bosannya tiap hari mencangkul, menyiram tanaman, menabur
pupuk dan memetik hasil panen setiap tahun, ia pun pergi meninggalkan
desa dan keluarganya. Perantauannya selama bertahun-tahun pun akhirnya
membuat bosan.
Satu hal yang amat ia kagumi tentang negeri luar yang ia lalui
sepanjang perjalanannya adalah telah ditemukannya cara untuk merekam
suara manusia atau menampilkan isi pikiran manusia melalui huruf-huruf
dan lambang yang dapat mewakili bunyi lisan manusia. Rangkaian dari
huruf-huruf itu dapat didokumentasikan di atas bermacam-macan media,
seperti batu, papan kayu, tanah yang dikeringkan, kulit kayu atau hewan,
dan yang paling mutakhir adalah benda tipis dan lunak dengan permukaan
yang bersih dan halus. Kita dapat menulis huruf-huruf tadi di atas
media-media tersebut dan keajaiban pun terjadi, bagaimana dengan suatu
cara yang tidak berisik tanpa suara, manusia bisa berkomunikasi satu
sama lain.
Zaza sadar bahwa itu adalah suatu hal yang sederhana, namun luar
biasa hebatnya. Potensi besar yang bisa ia bawa pulang, yang bisa
membuat ia dihargai di negerinya jika nanti rasa rindunya memanggilnya
pulang. Waktu itu ia belajar mengenal dan membaca huruf-huruf itu dari
seorang anak kecil yang dikenalnya. Ia memberi anak itu dua potong roti
manis dan anak itu mengajarinya membaca dan menulis.
Pada tahap selanjutnya ia belajar pada beberapa teman dan kenalannya
teknik menulis indah, membaca cepat dan ia juga belajar beberapa bahasa
yang berbeda dan abjad-abjad yang berlainan, mulai yang dibaca dari kiri
ke kanan atau kanan ke kiri. Banyak orang yang berdecak kagum bagaimana
Zaza belajar semua itu begitu cepatnya. Zaza pulang dan memperkenalkan
ilmu baru yang ia bawa kepada orang-orang di negerinya. Mereka
menanggapinya secara beragam, sebagian tidak peduli, sebagian
menganggapnya hal yang tidak penting tapi sebagian lagi menyimaknya
dengan seksama.
Zaza mengumpulkan orang-orang untuk menunjukkan bagaimana ia merekam
suara mereka ke dalam tulisan. Ada ratusan yang datang kala itu. Zaza
menyuruh mereka mengucapkan masing-masing satu kalimat. Dan ia
menulisnya, lalu ia buat semua orang terkejut bagaimana ia bisa
mengingat setiap kalimat mereka dan setiap detil kata yang mereka
ucapkan tadi. Semenjak itu, Zaza menjadi semakin dikenal banyak orang,
ia diminta untuk mengajari mereka membaca dan menulis. Sering pula ia
diminta untuk menuliskan atau membaca surat, menerjemahkan bahasa atau
istilah asing atau sekedar menulis indah. Yang paling penting adalah ia
dapat menghasilkan uang dengan kemampuannya itu.
Kereta itu berjalan sekian jauhnya. Hingga Zaza dan pria itu tiba di
sebuah istana. Beberapa pengawal di gerbang istana mengangguk hormat
kepada mereka berdua. Pria besar itu menuntun Zaza di sepanjang koridor
di dalam istana. Koridor itu begitu panjang. Ada banyak sekali kamar di
sisi kiri dan kanan mereka. Pria besar terlihat kebingungan mencari dan
memilih kamar mana yang harus mereka masuki.
“Ahh ini dia, masuklah! Kau sudah ditunggu di dalam.” Zaza masuk ke
dalamnya, ada orang yang sudah menantinya di balik pintu. “Zaza,
akhirnya anda datang. Masuklah! Anda sudah ditunggu dari tadi. Silakan
duduk dan nikmati suasana di sini!” laki-laki pendek dan agak gemuk itu
menyambutnya dengan ramah.
“Saya sangat kelaparan tuan. Kalau boleh, saya ingin meminta sedikit makanan sebelum saya melakukan apa-apa.”
“Tentu saja boleh, anda adalah orang yang pantas untuk dihormati. Anda adalah tamu istimewa di sini.”
Tidak lama kemudian pelayan datang membawa aneka hidangan yang begitu
enak dipandang dan memanjakan hidung dengan aromanya. Zaza menyesali
situasinya saat itu. Kenapa makanan seenak ini tidak tersaji di meja
makan di rumahnya. Dan ia bisa makan sepuasnya ditemani istrinya tanpa
harus terbelenggu oleh formalitas dan perasaan seperti sekarang.
Beberapa orang lalu masuk ke ruangan itu. Mereka adalah keluarga raja
dan orang-orang terdekat raja. Pria besar tadi lalu masuk membawa
sebuah kotak dan menaruhnya di depan Zaza lalu ke luar lagi. Dan
terakhir sang raja masuk duduk tepat di depan Zaza. Raut wajah sang raja
terlihat begitu serius dan gelisah. Ia terlihat seperti orang yang
telah menghabiskan waktunya berhari-hari hanya untuk memikirkan sesuatu.
Sesuatu yang sangat membingungkan namun sangat penting untuk segera
dipahami.
“Tuan, bisa saya mulai menjelaskan masalahnya sekarang?” raja
bertanya kepada Zaza. Dan Zaza mengangguk perlahan. Ia masih sibuk
memandangi kotak yang ada di depannya.
“Beberapa minggu yang lalu, aku dihantui sebuah mimpi, mimpi yang sangat
buruk, tentang penyakit, kematian, luka, dan celaka dan semua tergambar
begitu buruk di dalam mimpiku malam itu. Aku mengira kalau itu hanya
sebuah mimpi biasa, tapi kemudian tidak kurang tiga minggu
berturut-turut hingga tadi malam mimpi-mimpi itu terus saja datang.
Semakin menakutkan dan membingungkan.”
Raja menatap ke arah Zaza, seluruh keluarganya dan setiap orang di
ruangan itu melihat ke arahnya. Zaza terlihat kebingungan dengan situasi
di depannya. Kenapa ia dihadapkan pada hal gaib di luar nalar semacam
ini, atau mungkin raja telah salah memanggilnya ke sini. Tapi disimaknya
cerita raja itu dengan hikmat sehikmat anak kecil yang memakan es krim
di terik panas tengah hari. “Semenjak kedatangan mimpi-mimpi itu, aku
mulai tidak menyukai waktu tidurku, bahkan aku membencinya. Aku berharap
bisa terjaga sepanjang waktu.” Raja kemudian melipat lengan bajunya,
terlihat ruam-ruam dan bercak-bercak merah menyala di kulitnya. Seperti
bekas cambukan atau goresan. Dan bercak itu ada di sekujur tubuhnya, di
kaki, lengan, leher, dan punggungnya.
“Anda bisa melihatnya? Satu minggu yang lalu kejadian aneh yang lain
kembali terjadi. Seluruh kulitku rasanya seperti terbakar atau tersengat
lebah. Belum ada obat yang bisa menyembuhkannya hingga sekarang.
Anehnya penyakitku ini menghilang saat aku tidur. Dan masalahnya
mimpi-mimpi itu memberi penderitaan lain dalam tidurku. Mimpi-mimpi itu
bertambah ngeri, kadang ku lihat orang-orang yang ku kenal di kuliti,
dibakar, kuku-kuku mereka dicabut dari jari-jari mereka, kadang ku lihat
dalam mimpiku sekelompok orang menangkapku, menggigiti kulitku sampai
koyak. Itu sangat menyiksa. Sekarang aku malah membenci waktu tidur dan
jagaku.”
“Lalu aku mendatangi seorang dokter, ia memiliki nama yang panjang
dan aneh dan ia mengobati pasiennya dengan cara yang aneh pula, ia
berhubungan dengan hal-hal gaib yang dulu menurutku hanya bualan
orang-orang sinting. Vivus koznat latzika. Anda tentu mengenalnya
bukan?”
“Iya tuan, saya sempat belajar beberapa hal dari dia. Tapi hanya
sedikit. Saya pun kurang suka dengan hal-hal gaib atau semacamnya.”
“Ha, baguslah. Ia hanya memberiku sebuah kotak berisi kertas yang
bertuliskan kalimat dan huruf-huruf aneh yang belum pernah ku lihat
sebelumnya. Lebih mirip sebuah coretan atau garis-garis yang tidak
bermakna. Dan dokter itu mengatakan andalah orang yang bisa membacanya.”
Zaza membuka kotak itu dan mengambil kertas di dalamnya. Dicermati setiap tulisan di dalamnya.
“Sebenarnya ini adalah bahasa yang sama dengan bahasa yang kita pakai,
hanya saja ditulis dengan huruf dan simbol yang berbeda. Semua ini
adalah huruf yang identik dengan sesuatu yang berbau gaib. Saya bisa
membacanya tapi mungkin tidak dapat menjelaskan apa maksudnya.” Zaza
mulai membaca isi kertas tersebut.
“Tuan raja! Apa yang anda alami sekarang mungkin terasa aneh, sangat
aneh, namun tentu ada penjelasan untu setiap hal di dunia ini, tak
peduli seganjil apa pun dia. Sebenarnya dunia ini mirip dengan istana
anda, ada banyak kamar dan ruangan di dalamnya. Dan tempat di mana kita
tinggal hanya satu kamar di antara kamar-Kamar yang lain. Mimpi ibarat
sebuah lorong kecil yang menjadi penghubung antar ruangan. Manusia pada
umumnya hidup nyaman dalam kamarnya masing-masing namun lain halnya
mungkin dengan penghuni kamar yang lain, sialnya mungkin salah satu dari
mereka masuk ke mimpi anda dan mencoba menyakiti anda.”
“Makhluk yang masuk ke dalam mimpi anda memberi
penglihatan-penglihatan yang menyeramkan, ia senang melihat anda
menderita. Lalu membuat rasa yang tidak enak pada kulit anda. Kita tidak
bisa mengusirnya dengan memberinya sesuatu. Karena dia memang tidak
mengharapkan apa-apa dari anda, dia hanya mencoba menikmati penderitaan
anda. Mungkin penyebabnya adalah karena selama ini anda kurang peduli
dengan penderitaaan orang lain.”
“Tapi… entahlah, saya tidak ingin menasihati anda. Saya tidak
berkompeten untuk itu. Saya hanya menulis beberapa bait puisi sederhana.
Percayalah, setelah puisi itu dibaca semua akan pulih seperti semula.
Ini bukanlah mantera atau jampi-jampi ajaib, melainkan hanya sebuah
puisi biasa. Puisi tentang pulang dan rindu.” Zaza berhenti sebentar.
Dia melihat ke arah raja. Tadi itu sebuah bacaan yang aneh. Lebih mirip
sebuah dongeng pengantar tidur yang sering diceritakan ibunya dulu. Raja
lalu munyuruhnya untuk segera membacanya.
“Bangau-bangau terbang ke selatan, Di pagi hari ke arah gunung
Bangau-bangau terbang ke utara, Di senja hari ke arah laut
Saat itu pula seratusan, Semut kembali ke sarangnya
Tidak ada kesenangan yang lebih besar, Dibandingkan kerinduan kepada rumah
Apakah kau tak pernah terpikirkan untuk pulang
Wahai…”
Zaza berhenti, ada satu kata terakhir yang tidak ia mengerti. Mungkin
itu bukan kata-kata yang biasa dipakai sehari-hari. Zaza mengernyitkan
alisnya, baru kemudian ia menyadari kalau itu adalah sebuah nama. “Wahai
KOJET.”
Suasana menjadi hening. Semua orang menatap raja, sedang raja sendiri
menatap ke arah Zaza. Tidak ada perubahan sama sekali. Sakit di
kulitnya masih terasa. Zaza menjadi agak khawatir apa ini semua hanya
omong kosong atau ada kesalahan ketika tadi ia membacanya. Zaza melihat
ke sudut bawah kertas, ada sebuah catatan kaki ternyata di sana yang
bunyinya “Raja harus membacanya,” semua menyiratkan rasa lega
mendengarnya. Nyaris mereka menganggap bahwa yang barusan mereka dengar
hanya bualan orang gila. Raja kemudian mengulang puisi tadi. Sama persis
di setiap baitnya. Dan benar saja perlahan rasa sakit di kulitnya
menghilang. Dia segera bangkit dari kursinya dan menyalami Zaza lalu
memeluknya pelan. “Terima kasih tuan, ternyata anda memang bisa
diandalkan.”
Seluruh orang di ruangan itu yang sedari tadi hanya diam mendengar
pun bangkit dan bertepuk tangan. Mereka ikut berterima kasih dan
menyalami Zaza. Sang raja kemudian bergegas masuk ke ruang tidurnya.
Memejamkan mata untuk melihat mimpi indah yang lama ia tidak lihat. Pria
besar tadi masuk, sedikit tercengang dengan keberhasilan Zaza. Dan ia
mengantar Zaza pulang. Sekantong uang diberikan kepada Zaza sebagai upah
atau hadiah rasa terima kasih dari raja. Kali ini laki-laki itu
bersikap lebih sopan kepadanya, tapi Zaza tidak peduli. Ia hanya
teringat pada satu kata dari puisi tadi, “rindu”, entah kenapa ia
menjadi begitu rindu pada istrinya. Rindu masa dimana mereka tidak
pernah bertengkar. Sebelum turun dari kereta, Zaza bertanya kepada
laki-laki tadi.
“Tuan, kalau boleh tahu siapakah nama tuan?”
“Kojet.” jawab orang itu singkat, lalu menghilang begitu cepatnya
seperti air yang dituang di atas logam panas. Dan Zaza hanya terpana
sebentar lalu masuk ke rumahnya, memanggil istrinya dan berhamburan
memeluknya.